Desa Salamrejo merupakan sebutan untuk salah satu wilayah di Kecamatan Selopampang yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Magelang (Kecamatan Windusari) disebelah selatan, Desa Bulan disebelah utara, Desa Selopampang disebelah timur, dan Desa Jetis disebelah barat. Desa Salamrejo terletek sekitar 0,8 km dari kantor Kecamatan Selopampang dan kurang lebih sekitar 12 km dari alun-alun Kabupaten temanggung. Dikarenakan wilayahnya yang sebagian besar berupa tenah pertanian atau tegalan menyebabkan warganya kebanyakan bermata pencaharian sebagai petani.
Menurut cerita yang beredar di masyarakat, Desa Salamrejo terbentuk pasca letusan pada tahun 1730. Asal mula terbentuknya Desa Salamrejo sendiri memiliki beberapa versi cerita, salah satunya adalah cerita tentang Raden Ahmad Rejo. Kejadian pasca bencana letusan pada kawah puncak Sumbing (1730), menyebabkan terbentuknya kubah lava dengan aliran menuju bibir kawah terendah sehingga menyebabkan area lereng Sumbing cukup subur dan banyak didatangi orang untuk bercocok tanam disana.
Berdasarkan riwayat sejarah dan atau cerita turun-temurun yang beredar di masyarakat, Desa Salamrejo dahulu kala dirintis (dikembangkan) oleh Raden Ahmad Rejo dan Kiyai Abdus Salam. Raden Ahmad Rejo sendiri merupakan seorang pembabat (penebang) hutan belukar di perut Sumbing wilayah timur tepatnya di bagian tengah. Bagian ini berbatasan dengan Legok Tompak di bagian barat, Kali (sungai) Agung di bagian selatan, dan untuk wilayah timur terdapat Gambasan di bagian selatan dan Kacepit di bagian utara. Pada bagian utara sendiri tidak begitu jelas perbatasanya karena pembabatan hutan dilakukan hampir bersamaan dengan Kiyai Umbul, bagian utara ini sekarang disebut Desa Bulan.
Seiring berjalannya waktu, wilayah ini dihuni oleh beberapa pendatang. Sisi utara bagian barat dihuni oleh Kiyai Plembang yang dikemudian hari dikenal dengan Dusun Lembangan, sisi selatan bagian barat dihuni oleh Kyai Condro Bumi yang memiliki pembantu bernama Guno Geseng dan dikemudian hari diberi nama Balesari (sekarang Ngaglik), sisi selatan bagian tengah dihuni oleh Kyai Abdus Salam, yang dikemudian hari dikenal dengan Dusun Salam. Sementara sisi selatan bagian timur dihuni oleh Kyai Gatak yang dikemudian hari dikenal dengan Dusun Gatak, disisi utara bagian timur dihuni oleh dua orang kakak adik yaitu Selo Negoro dan Selo Yudo, sementara disisi utara bagian tengah dihuni oleh Raden Ahmad Rejo sendiri yang dikemudian hari dikenal dengan Dusun Rejosari.
Tidak ada cerita darimana Raden Ahmad Rejo sendiri berasal. Namun apabila dilihat lebih dalam, pada nama beliau yang sudah ada unsur berbau Islam, beliau merupakan bagian dari Kasultanan Mataram yang mungkin ikut pelarian saat terjadinya konflik di Kesultanan. Raden Ahmad Rejo, memiliki seorang putri benama Runti Rejo yang kemudian dipinang oleh Kiyai Abdus Salam. Setelah pinangan tersebut, Kiyai Abdus Salam memboyong Raden Ahmad Rejo untuk tinggal di Dusun Salam sebelum akhirnya beliau wafat dan di kubur di dusun salam.
Dusun-dusun kecil lain yang ada disekitaran desa dipimpin oleh seorang Glondong, dan untuk memudahkan administrasinya dibagi menjadi dua wilayah. Wilayah timur, terdiri dari Dusun Rejosari, Gatak, Keditan, dusun sudikampir dan lainnya. Kemudian di wilayah barat, terdiri atas Dusun Lembangan, Salam, dan Balesari. Atas inisiasi Singojoyo (Kiyai Palang), keturunan dari Kiyai Plembang, wilayah barat berdiri sendiri menjadi Desa Salamrejo sebagai bentuk penghargaan kepada Raden Ahmad Rejo dan Kiyai Abdus Salam sekaligus untuk mengenalkan kedua tokoh tersebut ke generasi penerus. Perkembangan penduduk di wilayah timur lebih pesat dibandingkan di bagian barat terutama di Dusun Balesari yang cenderung statis, kenyataan tersebut menjadi pertimbangan berubahnya Dusun Balesari menjadi Ngaglik.
Setelah terbentuknya Desa Salamrejo, Kiyai Abdus Salam melanjutkan dakwah Islam entah kemana, meninggalkan Istri dan anaknya sendiri tinggal di desa ini hingga mereka wafat. Berdasarkan hasil rembug tertutup dari tiga tokoh dusun, sehubungan Singojoyo hanya memiliki tiga orang puteri, maka ia mengangkat Lurah Citro Diharjo anak menantu pertama Singojoyo. Bertepatan dengan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW, 27 Rajab 1292 H (1875 M), Singojoyo mengumumkan kepada seluruh warga desa tentang pengangkatan Lurah Citro Diharjo. Setahun kemudian (1876 M) pemerintah Belanda mengesahkan pengangkatan Lurah Citro Diharjo tersebut. Citro Diharjo memimpin selama 44 tahun mulai 1876M – 1920M. Kemudian dilanjutkan cucunya, Citro Dinomo selama 26 tahun pada 1920M – 1946M.
Pada periode selanjutnya, pemegang jabatan sudah dipilih melalui pola pemilihan umum, dimana pada periode pertama di menangkan oleh Sahli (1946-1975) yang memenangkan pemilihan deri Hardjo Prayitno, kemudian dilanjutkan oleh Maksum (1975-1991) yang memenangkan dari Masyrur, dilanjutkan oleh Mundor (1991-1998) pemenang pamilihan dari Maksum, dilanjutkan oleh Darno (1998-2007) pemenang pamilihan dari Mundor, dilanjutkan oleh Khanif (2007-2013) dengan sistem jago tunggal, dilanjutkan oleh Sunaryanto (2013- Sekarang) juga dengan sistem pemilihan tunggal.
Kehidupan masyarakat Desa Salamrejo berjalan dengan mengandalkan hasil dari pertanian. Namun ada masanya mereka gagal panen terutama dimusim kemarau. Apalagi pada masa terdahulu Desa Salamrejo belum memiliki sumber mata air. Desa Salamrejo sendiri masih tergolong desa yang terdiri dari tegalan dan sumber air jarang ditemukan. Keseharian masyarakat desa untuk menggunakan air biasanya didapat dengan memanfaatkan aliran sungai besar yang jaraknya lumayan jauh dari pemukiman, dan untuk menuju sumber mata air diperlukan kehati-hatian ekstra.
Sulitnya ketersediaan air, membuat berbagai pekerjaan masyarakat sering tertunda atau gagal dilakukan. Keterbelakangan masyarakat serta rendahnya sumber penghasilan menjadikan masyarakat hanya bergantung pada nasib dan keberuntungan untuk mendapatkan air. Namun pada masa Bapak Sahli (1946-1975), beliau memiliki inisiatif untuk untuk sedikit meringankan beban masyarakat dalam mencari air. Beliau dan masyarakat desa bermusyawarah membahas ‘Bagaimana cara agar sumber air tersebut bisa masuk desa?’.
Setelah bermusyawarah dengan warga desa, akhirnya didapat jalan keluar dengan mengalirkan air dari sumber air dibawah Desa Tanggulanom. Pemanfaatan air ini berasal dari sumber air Curug Silawe dan mata air Sidandang yang jaraknya kurang lebih dua kilometer dari Desa Salamrejo. Masyarakat bahu-membahu untuk membangun saluran air agar bisa dimanfaatkan untuk keperluan dan kebutuhan masyarakat, serta untuk mengaliri lahan mereka yang kering. Masyarakat membangun saluran air tersebut dengan peralatan yang sederhana dan swadaya masyarakat, mereka bergotong-royong dengan penuh suka cita, bersama-sama membangun saluran air dan irigasi.
Berdasarkan cerita yang beredar, masyarakat membangun saluran air dan irigasi tersebut hanya dengan bermodalkan bambu serta peralatan sederhana lainya. Proses pemasangan bambu untuk mengalirkan air juga hanya mengandalkan tenaga masyarakat dan alat-alat sederhana tadi. Masyarakat saling bahu-membahu memasang dan menyambung bambu dari sumber mata air Curug Silawe hingga pemukiman warga. Karena ketinggian dan kedalaman curug yang begitu kontras dengan manusia, menyebabkan pemasanggan bambu berjalan begitu dramatis dan mencengangkan. Katika sambungan bambu telah mencapai Desa Salamrejo, keadaan masyarakat masih saja bermasalah, dimana mata air yang mereka dapat sangat sedikit dan tidak mampu memenuhi keseluruhan kebutuhan air desa. Seiring berjalnnya waktu, saluran yang terbuat dari bambu tersbut membusuk dan air tidak mengalir seperti sedia kala.
Bapak Sahli selaku kepal desa saat itu, kembali berdiskusi dan bermusyawarah dengan masyarakat desa untuk menangani masalah tersebut. Dari hasi musyawarah tersebut mereka berhasil mendapat mufakat untuk membangun saluran air dengan tembok dan permanent dari batu dan tanah. Masyarakat menyetujui hal tersebut, dan mereka kembali bahu-membahu dengan bersemangat untuk membenahi dan membetulkan saluran air tersebut.
Pembangunan saluran air yang diharapkan masyarakat tidak berjalan mulus seperti apa yang diharapkan masyarakt. Selalu saja ada masalah dalam pembangunan. Ketika pembangunan sudah dilaksanakan, tiba-tiba saja tebing yang sudah di fondasi dan di bangun runtuh tanpa sebab. Semenjak kejadian itu banyak pula terjadi kekacauan-kekacauan tanpa sebab yang pasti. Banyak pula kejadian diluar nalar manusia yang sering menghampiri masyarakat desa. Hingga puncaknya ada beberapa warga desa yang tiba tiba saja meningga tanpa sebab yang jelas dan menambah kebingungan masyarakat desa. Warga sering mengaitkan peristiwa tersebut dengan hal-hal mistis yang sering terjadi, terlebih lagi semenjak jumlah warga yang meninggal berjumlah tujuh orang. Namun masyarakat tidak patah semangat dan terus bergotong-royong membangun kembali saluran air tersebut.
Setelah pertimbangan matang-matang, pembangunan tebing dilakukan kembali. Naasnya pembangunan tebing kedua juga berjalan tidak mengenakkan. Dimana tebing tersebut kembali runtuh dan rusak parah. Keadaan masyarakat yang masih terbelakang pada masa itu, membuat masyarakat lebih percaya dengan hal-hal diluar nalar serta sikap masyarakatyang masih menjunjung tinggi nilai budaya dan adat-istiadat, maka mereka mengadakan semacam ritual atau kenduri untuk ngeslupi yang bertujuan untuk memberi keselamatan dalam memulai kembali pembangunan tebing dan saluran air.
Dari beberapa cerita, mereka para tetua desa dan beberapa masyarakat datang serta berkonsultasi (sowan) kepada seorang wali yang bernama Kiyai Muslim dari Jombor. Mbah Kiyai Muslim memberikan wejangan atau nasihat untuk masyarakat mengadakan makan bersama atau kenduri dengan syarat dalam isi makanan harus ada ingkung ayam, kambing, daun pakis, dan batang pepaya yang dimasak untuk dimakan bersama-sama di Curug Silawe. Setelah wejangan tersebut diumumkan, masyarakat berbondong-bondong menuju curug untuk mengadakan kenduri yang di pimpin oleh Mbah Kiyai Muslim sendiri. Hebatnya seorang wali, dengan Ridha Allah beliau menancapkan sebuah batang randu, yang hingga sekarang menjadi pohon besar penyangga saluran air menuju Desa Slamrejo. Dengan wasilah wali, tebing ketiga yang dibangun oleh masyarakat tidak lagi runtuh seperti sebelum-sebelumnya, walaupun tebing tersebut hanya berupa batu dan plester tanah.
Semangat dan perjuangan masyarakat telah membuahkan hasil, harapan mereka dalam mewujutkan pembangunan saluran air telah tercapai. Setelah itu masyarakat juga diminta partisipasinya untuk menyumbangkan pasir dengan kisaran 32 blek (toples kerupuk) per kartu keluarga dipergunakan untuk memperkokoh tebing saluran air ke Desa Salmrejo. Dengan suka rela masyarakat menyumbang dan kembali bergotong-royong saling bahu-membahu untuk menguatkan serta memperkokoh saluran air. Setelah tebing dan saluran air dibangun, masyarakat memanfaatkan aliran tersebut dengan sangat senang. Mereka membuat dan membangun tempat pemandian umum dan diberi nama “Kali Kidul”. Warga masyarakat memanfaatkan tempat tersebut dengan sebaik mungkin, menggunakanya sebagai tempat untuk mencuci, mandi, mengambil kebutuhan air rumah tangga, hingga digunakan untuk menambah pengaliran untuk irigasi. Tempat (kali) yang cukup besar tersebut setiap hari baik pagi maupun sore selalu ramai dikunjungi masyarakat dan menjadi tempat utama bagi sebagian masyarakat desa.
Pada masa jabatan Bapak Maksum (1975-1991), sumber air digunakan untuk peningkatan ekonomi. Peningkatan ekonomi tersebut lebih di tekankan pada bidang pertanian. Air yang melimpah dari sumber air di alirkan lagi dengan dibangunya aliran irigasi guna memudahkan mengalirkan air ke wilayah sawah atau ladang yang sulit dijangkau. Aliran irigasi tersebut kemudian digunakan oleh masyarakat untuk menanam berbagai macam sayuran dan padi. Dahulu pada masa desa masih sulit air, keberadaan tanaman padi juga sangat sulit di temukan. Masyarakat hanya mengandalkan hasil kebun berupa jagung dan singkong yang mana untuk menanam tidak membutuhkan begitu banyak air. Keberadaan padi dahulu sangatlah langka, bahkan saat air sudah mulai mengalir pun keberadaan padi masih sulit ditemukan, apa bila ada padi sudah seperti emas yang sangat berharga. Masyarakat akan menyimpan padi-padi hasil panen mereka dan akan ditukarkan saat mereka membutuhkan suatu barang atau ditukarkan dengan jagung dan singkong yang lebih murah dibandinkan padi atau beras. Untuk menghemat penggunaan padi juga, mereka mencampur beras dengan nasi jagung apa bila ingin di konsumsi.
Seiring dengan perkembangan masyarakat, air yang mengalir begitu melimpah mereka gunakan untuk berbagai macam kegiatan seperti pertanian, peternakan dan budidaya ikan air tawar. Mayoritas penduduk Desa Salamrejo yang bekerja di bidang pertanian, mereka menggunakan aliran air tidak hanya untuk menanam padi saja, mereka juga menanam berbagai macam tanaman yang laku dipasaran dan memiliki nilai jual lumayan tinggi seperti cabai, sayur-sayuran dan tembakau. Dengan begitu banyaknya hasil pertanian yang di dapat ini, kemudian memunculkan lahan pendapatan baru. Para warga terutama perempuan banyak yang berdagang dari hasil kebun mereka sendiri atau hanya sebagai pengepul sayur untuk nantinya dijual kembali di pasar-pasar.
Pada masa jabatan Bapak Maksum, masyarakat juga sering bergotong-royong bahu-membahu memperbaiki saluran saluran air yang rusak. Puncaknya dengan membangun jembatan air di gokmbir. Selanjutnya pada masa jabatan Bapak Mundor (1991-1998), beliau melanjutkan program kerja dari Bapak Maksum. Pada masa jabatanya terdapat pembenahan sarana irigasi desa dan pemindahan talang bambu yang mulai di permanent. Sumber air yang mengalir deras kembali dimanfaatkan dan dipergunakan sebaik mungkin dibidang pertanian.
Komoditas pertanian yang bermacam-macam mereka manfaatkan sebaik mungkin. Tanaman tembakau yang tumbuh subur di desa ini juga turut menambah peluang usaha lain di bidang kerajinan. Karena hampir keseluruhan masyarakat pada musim tembakau mereka mengelolanya, maka dibutuhkan pula tempat atau keranjang tembakau yang cukup banyak. Sehingga banyak masyarakat yang membuatnya dan menjadi pengrajin keranjang bambu atau anyaman bambu.
Setelah masa jabatan Bapak Mundor berakhir kemudian di lanjutkan oleh Bapak Darno (1998-2007). Pada masa jabatan Bapak Darno ini keadaan desa sudah mulai maju dan berkembang dengan baik. Sarana irigasi masih banyak dibenahi dan mulai adanya pembukuan dan pengarsipan adsministrasi desa. Para pengurus desa mulai diajarkan tentang keadsministrasian dan bagianya masing-masing.
Pada tahun 2007 diadakan pemilihan kepala desa kembali, dimana di Desa Salamrejo hanya terdapat jago tunggal. Pada masa ini jabatan dipimpin oleh Bapak Khanif (2007-2013). Pada masa jabatan Bapak Khanif, Desa Salamrejo mulai mengadakan peningkatan pembangunan terutama jalan raya. Peningkatan kualitas jalan yang semula hanya batuan kecil kecik di ubah dan dibenahi menjadi jalanan beraspal.
Setelah berakhirnya masa jabatan Bapak Khanif, kini jabatan digantikan oleh Bapak Sunaryanto (2013-sekarang). Pada masa jabatan Bapak Sunaryanto ini, banyak dilakukan pembenahan-pembenahan desa. Pembenahan jalan pun turut dilakukan. Penataan ulang desa juga dilakukan untuk menambah peningkatan kesejahteraan masyarakat serta peningkatan pelayanan publik. Keberhasilan dalam mengelola BUMDes juga memengaruhi dalam berkembangnya kesejahteraan masyarakat desa. Pada masa jabatan Bapak Sunaryanto ini, kegiatan-kegiatan yang dilakukan didesa bertujuan untuk pembinaan dan pemberdayaan masyarakat.
Pada tahun 2014 Desa Salamrejo meraih swasembada dengan perolehan nilai dari berbagai macam sektor, salah satunya adalah sektor di bidang ekonomi. Pada masa ini sektor ekonomi di Desa Salamrejo sudah lebih baik dari sebelumnya. Masyarakat yang dulunya cenderung bergerak statis dan hanya bergantung pada nasib serta keberuntungan, kini mulai aktif dalam mengembangkan bakat kreatifitas mereka. Hubungan sosial dan budaya dari masyarakat desa sendiri juga berjalan dengan begitu erat dan saling berkaitan. Beberapa adat istiadat setempat juga masih dilestarikan, salah satunya budaya kenduri itu sendiri. Selain kenduri, gotong-royong juga masih sering dilakukan.
Keberagaman masyarakat yang begitu menonjol, menjadikan masyarakat Desa Salmarejo saling bergantungan dan saling memiliki. Mereka dapat melihat peluang hidup hanya dengan memahami perbedaan yang ada. Karena dengan perbedaan tersebut mereka tercipta dan hidup dengan layak. Setidaknya dengan adanya perbedaan tersebut juga menjadikan mereka kreatif dan mau untuk berpikir lebih jauh.